Angkat Upacara Tradisi, Symposium Internasional Kraton Yogyakarta Ajak Masyarakat Diskusi Budaya
Dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem atau peringatan ulang tahun bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X ke 35, Kraton Jogja menggelar Symposium Internasional Budaya Jawa ke-6. Symposium ini digelar selama dua hari, yakni pada Sabtu (9/3) dan Minggu (10/3). Mengusung tema Upacara-Upacara Tradisional di Kasultanan Yogyakarta, Simposium Internasional terbagi menjadi 4 sesi.
“Tema dipilih meningkatkan pengetahuan upacara adat yg berlaku di jogjakarta. Saling tukar pendapat terkait budaya jawa.” Tutur GKR Hayu selaku Ketua Pelaksana Symposium.
Ia menuturkan dengan adanya acara Symposium ini dapat membangkitkan semangat budaya jawa dan pengetahuan budaya jawa serta pengingat tradisi budaya adiluhung.
“Secara teratur, berbagai ritus upacara adat atau Hajad Dalem berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas limpahan karunia dan memohon keselamatan. Di akhir prosesi, berbagai jenis sajian persembahan atau yang biasa disebut ubarampe dibagikan kepada yang hadir sebagai simbol sedekah bagi sultan kepada rakyat” ungkap GKR Hayu dalam sambutannya.
Para pembicara yang hadir dalam simposium sebelumnya telah melakukan berbagai proses mulai dari seleksi yang cukup ketat, workshop penulisan hingga pengumpulan akhir penelitian yang dilakukan.
Hari pertama Simposium dibuka dengan Tari Srimpi Wiraga Pariskara. Tari ini ditampilkan oleh 4 orang penari putri dan 2 orang anak gadis kecil dengan ketentuan-ketentuan struktur dan karakternya disebut Srimpi.
Tari ini secara khusus diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Bawono X khusus untuk ditampilkan dalam pembukaan International Symposium on Javanese Culture 2024.
“Ini adalah karya tari Srimpi yang pertama kali diciptakan Sri Sultan Hamengku Bawono” ungkap KPH Notonegoro.
Tari ini membawakan bentuk upacara tetesan di Keraton Yogyakarta. Tetesan adalah upacara adat yang menjadi tanda bagi seorang gadis kecil yang akan masuk ke masa kanak-kanak. Masa ini adalah masa dimana melewati masa bayi namun belum bisa disebut sebagai wanita dewasa, baik dari segi fisik maupun psikisnya.
Upacara tetesan adalah salah satu dari sekian banyak upacara adat yang masih ada dan terus dilestarikan oleh Keraton Jogja. Dengan adanya perkembangan jaman, Keraton Jogja selalu berusaha untuk memperkenalkan sekaligus melestarikan berbagai upacara adat ini agar masyarakat luas menjadi lebih banyak paham terkait budaya jawa.
Sesi pertama diisi topik-topik Sejarah dengan pembicara yang ahli di bidang masing-masing. Sedangkan sesi kedua diisi dengan topik-topik Seni Pertunjukan. Sebagaimana misi Symposium Internasional ini, hadirnya acara ini dapat menjadi media pertukaran informasi dan menjadi media berkumpul serta mengajak masyarakat kembali untuk memahami dan memaknai setiap sendi kehidupan dengan nilai-nilai budaya jawa yang telah ada sejak dahulu kala.
“Kami meng-encourage para peneliti, akademisi untuk meneliti budaya Jawa. Symposium ini juga memberikan kesempatan untuk para peneliti muda untuk mendapatkan panggung yang sama dengan para ahli,” sambung GKR Hayu.
Pembagian waktu dan diskusi dalam symposium dibagi dua sesi untuk satu hari. Sesi 1 dan 2 berlangsung Sabtu (9/3) dan sesi 3 dan 4 berlangsung Minggu (10/3) dengan fokus symposium hari kedua akan membahas topik-topik Literatur dan Kebudayaan.
Sejalan dengan Mangayubagya Tingalan Jumenengan Dalem, Kraton Jogja juga mengadakan pameran temporer yang dibuka sejak Sabtu (9/3) hingga Minggu (25/8). Pameran ini dibuka untuk umum mulai pukul 08.30 hingga pukul 14.00 WIB.
Untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai symposium dan pameran Abhimantrana dapat diakses melalui website symposium dan sosial media kraton jogja.