Musuh Bebuyutan, Ibadah Budaya untuk Memahami Keragaman Indonesia

Musuh Bebuyutan, Ibadah Budaya untuk Memahami Keragaman Indonesia

Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Kayan Production, memboyong lakon “Musuh Bebuyutan” ke Yogyakarta dan mementaskannya di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) , pada Selasa, 23 Januari dan Rabu, 24 Januari 2024. Lakon ini sebelumnya sudah ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1 dan 2 Desember 2023. Pementasan ke-42 ini diharapkan bisa menjawab kerinduan penggemar Indonesia Kita di Yogyakarta sekaligus menjawab keingintahuan dan rasa penasaran publik budaya di Yogyakarta akan pertunjukan “Musuh Bebuyutan” yang mendapatkan pemberitaan cukup hangat pada akhir tahun 2023.

Tidak tanggung-tanggung, lakon “Musuh Bebuyutan” yang ditulis dan disutradarai oleh Agus Noor disponsori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Pementasan ini bertabur nama-nama besar dan sudah banyak dikenal seperti Inaya Wahid, Oppie Andaresta, Cak Lontong, Akbar, Susilo Nugroho, Marwoto, dan masih banyak lagi.  Tidak kaget jika hari pertama kursi Concert Hall TBY penuh dengan penonton.

Musuh Bebuyutan

Saat pertunjukan dimulai, di atas panggung tampak setting kehidupan di sebuah perkampungan Ada dua rumah utama milik bude Cak Lontong dan rumah lainnya yang ditinggalo kakak beradik Oppie dan Akbar. Tidak ada nama samara dalam pementasan ini, semua pemain menggunakan nama asli. Selain rumah, suasana politik semakin terasa dengan adanya dua baliho calon Lurah yang terpasang di sekitar rumah. Ceritanya sedang ada kontestasi pemilihan Lurah baru menggantikan Lurah lama yang diperankan oleh Butet.

“Musuh Bebuyutan” mengisahkan hubungan seorang pemuda (Cak Lontong) dan seorang perempuan (Oppei) yang bertetangga dan berteman baik. Namun sebuah peristiwa menjadikan keduanya berseteru dan berbeda pilihan politik. Permasalahan ini akhirnya tidak hanya menjadi masalah berdua tapi juga membuat warga kampung lainnya menjadi ramai dan berdebat karena pilihan politik masing-masing.

Sepanjang pertunjukan, penonton dibuat tertawa dengan tingkah polah pemainnya. Penampilan Susilo dan Marwoto sebagai calon Lurah yang sedang bersaing, membuat drama ini semakin menarik dan TANPA SENSOR. Ya, harus ditulis huruf besar, karena di Tengah situasi di mana sebagaian masyarakat yang berhati-hati agar tidak terlihat mencolok membahas masalah politik, “Musuh Bebuyutan” justru dipenuhi dialog yang terkesan menyindir semua pasangan calon.

Bukan sindiran yang menggiring opini negatif, masih dalam koridor komedi dan setara untuk semua calon. Tidak hanya berat untuk salah satu calon. Semua terkena sindiran dan memicu gelak tawa bagi penonton. “Lakon ini merupakan cermin akan situasi yang nyata terjadi di kehidupan masyarakat. Hubungan bertetangga bisa menjadi runyam ketika para elit politik mulai saling serang di dalam kampanye-kampanyenya termasuk saat perdebatan di layar kaca. Kami mementaskan Musuh Bebuyutan ini untuk bisa merilekskan ketegangan yang terjadi dengan ciri khas Indonesia Kita selama ini yang dalam pementasannya penuh parodi, banyolan, dan celetukan-celetukan satir untuk menggugah tawa dan keakraban di antara penonton,” ujar Agus Noor.

Musuh Bebuyutan Indonesia Kita

“Terima kasih sudah hadir di sini untuk bersama-sama melaksanakan ibadah kebudayaan yang ke-41 program Indonesia Kita. Malam ini pertunjukannya benar-benar dengan api yang sumeleh, happy, pentas pulang dari pertunjukan kami awal Desember di Jakarta lalu. Pertunjukan kami Musuh Buyutan pada malam hari ini adalah lanjutan dari program Indonesia Kita edisi tahun lalu 2023, di mana kami mengangkat karya-karya legendaris yang diinspirasi karya Pak Nano Riyanti Arno lalu diinspirasi karya-karya Saung Jambu dan lagu-lagu Koes Plus,” ungkap Butet membuka pertujukan hari pertama (24/01).

Memboyong “Musuh Bebuyutan” ke Yogyakarta, diharapkan Butet Kartaredjasa bisa membuat para pemain tampil total tanpa penuh kekhawatiran seperti yang sempat dialami dalam pementasan di Jakarta. Dengan memboyong “Kami mencoba menghayati Indonesia dengan cara melalui jalan kebudayaan. Kita bisa menghayati ke Indonesia melalui jalan politik, Jalan hukum, atau apapun tapi kami memilih Indonesia Kita sebagai rumah bersama yang berlandaskan kekuatan seni, kekuatan kebudayaan, sehingga kita tetap merasa sebagai Indonesia. Semangat kami adalah membangun kerukunan, siapapun bisa hadir menikmati ibadah ini,” pungkas Butet.

Kazebara

Suka menulis dan menikmati hidup saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *