Anusapati dan “Pohon Kayu”: Amalan Nyata Melawan Eksploitasi Alam

Dalam gelaran ARTJOG 2025, Anusapati tampil menjadi salah satu seniman komisi utama dengan karya instalasi monumental berjudul Pohon Kayu. Instalasi ini tidak hanya menjadi karya estetis, tetapi juga bentuk protes dan amalan nyata terhadap kerusakan lingkungan yang makin meluas di Indonesia, terutama akibat aktivitas pertambangan dan penebangan hutan liar.
Memaknai “Amalan” sebagai Tindakan Sosial
Tema ARTJOG tahun ini, Motif: Amalan, menekankan bahwa karya seni harus merefleksikan fungsi sosial dan praktis – bukan hanya estetika. Anusapati, yang dihubungi panitia sejak tahun lalu setelah tema diumumkan, meresponsnya dengan isu hijau yang paling relevan saat ini.
“Saat itu saya sedang galau karena sedang marak berita tentang perusakan lingkungan oleh aktivitas petambangan,” ujarnya dalam konferensi pers pembukaan ARTJOG di Jogja National Museum. Mengadopsi makna “amalan” sebagai kontribusi nyata, Anusapati menyadari bahwa karyanya harus menggugah kesadaran orang banyak.
Merajut Isu Lingkungan ke dalam Instalasi
Menggunakan pohon dan kayu mati sebagai bahan utama, Pohon Kayu berbicara secara simbolis dan literal. Kayu-kayu tua dan patah yang dipajang menggambarkan betapa masif praktik eksploitasi terhadap hutan dan tambang telah merusak keseimbangan alam. “Karya ini paling tidak memberikan informasi pada publik bahwa Indonesia sedang tidak baik‑baik saja,” tegasnya
Anusapati memastikan karyanya tidak hanya visual. Ia ingin pengunjung merasakan kondisi kritis yang saat ini nyata terjadi, dengan menghadirkan pengalaman multisensori: instalasi otten, ditambah suara ambient karya seniman suara Tony Maryana, menciptakan resonansi kognitif yang lebih mendalam. Lewat elemen bunyi, pengalaman total ini membangkitkan “rasa keprihatinan pada kondisi alam yang tidak baik‑baik saja,” kata Anusapati
Fungsi Seni sebagai Pengingat Kolektif
Lewat Pohon Kayu, Anusapati menegaskan bahwa seni dapat berperan sebagai “hadiah” bagi kehidupan bersama, bukan sekadar komoditi estetis atau objek investasi. Karya instalasi ini mengandung elemen refleksi, kritik, dan ajakan untuk bertindak atas kondisi alam saat ini. Ia memosisikan dirinya bukan sebagai seniman yang hanya menonjolkan estetika, tapi sebagai agen perubahan sosial.
Lebih dari itu, instalasi ini turut mendekatkan pengunjung kepada realitas lingkungan hidup, menjembatani ruang antara manusia modern dan alam. Dinding-dinding studio seni kadang menjauhkan manusia dari realitas ekologis yang sebenarnya. Anusapati justru memecahkan jarak itu dengan memanfaatkan materi alami yang sudah tak digunakan—seperti sisa-sisa kayu, menjadikannya bahan narasi untuk menyampaikan pesan penting.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Melalui karya ini, Anusapati berharap pengunjung ARTJOG tidak hanya menikmati karya, tetapi juga merenungi dan meresapkan urgensi menjaga alam. Ia menunjukkan bahwa seni bisa menjadi medium edukasi efektif untuk menciptakan kesadaran kolektif. Instalasi ini bisa menjadi panggilan bagi pihak berwenang, komunitas, dan publik luas.
Tema “Amalan” bukan teori kosong. Lewat Pohon Kayu, Anusapati mengubah kerusakan hutan dan tambang menjadi karya yang menuntut refleksi dan semoga tindakan nyata.
Karya ini mempertegas bahwa seni, ketika diposisikan sebagai amalan, memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita berpikir dan bertindak. Anusapati, lewat Pohon Kayu, tidak hanya menciptakan instalasi visual, tetapi membangun wacana kritis yang berakar pada keadaan nyata Indonesia saat ini. Ia tidak sekadar mengajak kita untuk “melihat,” tetapi juga untuk mendengar, merasakan, dan bergerak.