Melihat Sardono W. Kusumo dan Seni Tato

Melihat Sardono W. Kusumo dan Seni Tato

Sardono W. Kusumo, seorang professor paruh baya dengan segudang ilmu dan prestasi yang melekat dalam satu paket lengkap. Pria yang ingin melupakan realitas umur dan tetap hidup membaur tanpa dimakan usia ini kerap disapa dengan panggilan ‘Mas don’ meski umurnya kini mencapai kepala 8. Usia yang bukan hanya sekedar matang namun juga telah menorehkan berbagai pengalaman semasa ia hidup. 

Jika menceritakan pengalaman yang dilalui oleh mas don sejak ia kecil, tulisan ini tentu tidak akan selesai dalam satu kali posting. Mas don dalam gelaran ArtJog 2023 tidak hanya sekedar datang dan menyaksikan berbagai karya seni namun juga memberikan makna.

MEN TA (too) WAY: Merayakan Seni Rupa Tertua di Dunia merupakan tajuk yang dipilih oleh Sardono W. Kusumo dan Artjog sebagai agenda Main Performance terakhir dalam rangkaian ARTJOG 2023.

Peraih Piala Citra ini yang juga terkenal sebagai penari, koreografer dan sutradara film ini secara langsung mempimpin gelaran pertunjukan kolosal ini. Keinginan Sardono mengangkat Tatoo dalam Artjog ini tidak lain bertedekatan dengan kunjungannya ke Mentawai enam bulan sebelum Artjog digelar.

Ia bercerita ada banyak aspek yang memicu kita untuk terus berkembang sebagai seorang manusia. Salah satunya dihadirkan dalam karya ini. Ia mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap sesuatu yang ada disekitarnya. Selama berada di Mentawai, Sardono sangat kagum dan takjub dengan Tato yang di’tanam’ dari setiap penerus Mentawai.

Tato sebagai bentuk seni visual, memiliki peran penting dalam merangsang empati terhadap keindahan alam dan perlunya perlindungan terhadap flora dan fauna.

“Kalau orang Mentawai ditanya tentang tato, tato itu pakaian. Jadi kalau di hutan, serangga tidak terlalu menyerang orang Mentawai, karena mereka bertato. Saya kemudian bersepakat dengan Heri Pemad untuk merayakan seni rupa tertua yang relevan dengan ARTJOG,” ungkap Sardono W. Kusumo saat menjelaskan  ‘MEN TA (too) WAY’ Jumat malam (25/082023) di ARTJOG Stage.

Pertunjukkan dimulai dengan masuknya suara tabuhan genderang dan suling alam yang dimainkan di pojok panggung. Suara musik yang khas mengundang si Kerei masuk ke panggung. Yang menjadi ‘highlight’ pertunjukan ini tentu Sikerei dengan langkah kaki mereka yang menghasilkan suara menggelegar di teratak.

Men ta (too) Way

Beberapa hari sebelum penampilan ini siap ditampilkan ke publik. Sosok ‘Mas Don’ sangat teliti namun juga membuka kesempatan para performers untuk bebas dari aturan-aturan yang ada. Sejauh ini, Mas Don selalu mendorong para penari yang ikut pentas bersamanya untuk membaca ruang dan waktu.

“Bisa dilihat ruang dan waktu yang ada di depan kalian. Jangan terlalu fokus pada hal-hal normal. Eksplor kembali, kalian belajar dari Mentawai. Bagaimana langkah mereka, bagaimana mereka menciptakan irama dan sebagainya. Interpretasikan itu dalam bahasa tubuh kalian masing-masing,” dorong Mas Don kepada para penari.

Tak salah jika, setelah penampilan Si Kerei yang memukau para penonton, babak kedua penampilan juga diisi dengan sangat brilian oleh para performer. Diawal pertunjukkan suasana digambarkan sangat chaos dengan bentuk penari yang berlarian, bergelantungan, melompat di tratak, hingga menggeliat di atas sepeda motor.

Dalam tata panggung penampilan, Mas Don juga menghadirkan narasi yang sangat menarik. Tato sebagai seni rupa, pun berkembang dengan jaman. Dari budaya yang muncul di pedalaman Sumatera nan indah hingga bercampur baur dengan teknologi yang ada dengan representatif motor dalam tata panggung.

Pertunjukkan berdurasi satu setengah jam ini memukau semua penonton. Tidak dipungkiri juga, penari yang sangat piawai, narasi yang kuat juga orang-orang Mentawai yang penuh dedikasi membuat pertunjukkan ini menjadi luar biasa.

 

 

 

Pras Chandrawardhana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *