GKR Bendara Resmi Tutup Simposium Internasional Kraton Jogja 2020

infoseni.id – Ajining Raga Gumantung Saka ing Busana. Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa busana sejatinya bukan hanya tentang apa yang dikenakan pada tubuh saja. Lebih dari itu, busana dapat menggambarkan jati diri seseorang, menunjukkan identitas, kedudukan, dan status sosialnya.
Hal ini senada dengan penuturan Jennifer Lindsay, pemateri pertama dalam sesi ketiga simposium Kraton Jogja yang bertajuk Busana dan Peradaban Keraton Yogyakarta.
“Busana itu tidak pernah netral. Busana menunjukkan adanya gender, status sosial, identitas, kuasa, dan lain sebagainya”, ungkap Jennifer Lindsay dari The Australian National University yang menyampaikan materi berjudul Dressing Up: Gamelan and Performance Attire.
Selama dua hari (9-10/3), Kraton Jogja sukses menyelenggarakan simposium bertajuk Busana dan Peradaban Keraton Yogyakarta. Simposium yang digelar selama dua hari ini menghadirkan para pemateri ulung yang terbagi dalam empat sesi, yakni sejarah, filologi, seni pertunjukkan, dan sosial budaya.
Simposium hari kedua kemarin (10/3) diawali dengan agenda talkshow bertema Digitalisasi Kekayaan Budaya di Keraton Yogyakarta. Talkshow ini dibersamai tiga pembicara yang turut andil dalam proses digitalisasi aset Keraton Yogyakarta, diantaranya GKR Hayu dan KPH Notonegoro dari Kraton Jogja, serta Ibu Endang dari Universitas Negeri Yogyakarta yang sangat ahli dalam bidang pernaskahan jawa.
Talkshow singkat ini membicarakan berbagai kekayaan budaya Keraton Yogyakarta dan berbagai upaya digitalisasinya. Proses digitalisasi ini penting untuk menyebarluaskan informasi seputar kehidupan budaya dan tradisi di dalam lingkungan istana yang bersumber dari berbagai dokumen lama, salah satunya manuskrip.
“Kraton Jogja punya banyak sekali manuskrip. Cuma biasanya disimpan saja. Sekarang kami baru mencari jalan agar manuskrip-manuskrip tersebut dapat diakses publik, supaya semakin banyak lagi penelitian-penelitian tentang Keraton Yogyakarta”, ungkap GKR Hayu.
Kraton Jogja memang memiliki kekayaan budaya yang diturunkan dari masa ke masa, sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755 silam. Adanya simposium ini sebenarnya menjadi momentum yang tepat untuk mengenalkan kekayaan budaya Keraton Yogyakarta.
Simposium hari kedua (10/3) Kraton Jogja terbagi dalam dua sesi yakni seni pertunjukkan dan kehidupan sosial budaya. Ada banyak insight baru yang didapatkan peserta dari para pemateri yang masing-masing ahli dalam bidangnya sendiri.
Ada yang menarik dalam simposium hari kedua ini, yakni tentang pergeseran tradisi di dalam Keraton Yogyakarta. Adanya berbagai perubahan ini sebetulnya merupakan usaha Kraton Jogja menjawab tantangan dari generasi muda, tentang upaya Kraton Jogja mendekatkan dirinya pada millenial.
“Tradisi itu memang harus berubah, kalau tidak ya mati. Persoalan yang paling penting adalah tradisi yang berubah tersebut harus dikawal. Apakah meningkatkan mutu dari tradisi itu sendiri atau justru menurunkan kualitasnya”, ungkap Dr. Sumaryono M.A, moderator sesi Sosial Budaya.
Simposium Internasional Budaya Jawa oleh Kraton Jogja sudah digelar selama dua kali, sebagai peringatan Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X. Simposium ini menjadi momentum bertemunya para peneliti dalam satu forum yang sama guna membagi pengetahuan dari hasil riset mereka.
“Terima kasih saya ucapkan untuk seluruh peserta simposium yang sudah berkenan hadir selama dua hari ini. Terima kasih juga untuk masukannya. Ada berbagai macam ide yang kami tangkap. Ada yang mengusulkan tahun depan temanya kuliner. Nanti kami coba dalami lagi”, ungkap GKR Bendara yang bertugas menutup serangkaian acara Simposium Internasional Budaya Jawa.
“Yang pasti, tahun depan akan ada simposium dengan format yang kemungkinan masih sama, tetapi tentu dengan tema yang berbeda”, tegas beliau.
Selepas menyampaikan sepatah dua patah kata, GKR Bendara memukul gong yang menjadi simbol berakhirnya simposium Busana dan Peradaban Keraton Yogyakarta yang sudah digelar selama dua hari ini. Selain simposium, ada berbagai kegiatan lain guna memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Selain kegiatan-kegiatan tradisi yang masih tetap lestari, ada pula kegiatan pameran yang berlangsung hingga 4 April 2020 nanti, ditambah dengan kegiatan diskusi ilmiah dan workshop yang informasinya dapat dijumpai di media sosial Kraton Jogja.