Mewarisi dan Merawat Nyala Seni di Yogyakarta

“Lebih mudah menciptakan 100 orang insinyur daripada menciptakan 1 orang seniman,” ujar Kuss Indarto, yang mengutip I.r Soekarno pada era G30SPKI.
Yani Saptohoedojo (Pengelola Makam Seniman Giri Sapto Imogiri), Syahrizal Pahlevi (Penggagas Gampingan Open Studio), dan Kuss Indarto (kurator seni rupa), serta Rain Rosidi selaku moderator, berkumpul dalam acara Sarasehan Seni Rupa “Mewarisi dan Merawat Nyala Seni” pada hari Rabu sore (09/08/2023) di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta.

Berlangsung dua jam, acara ini dihadiri oleh sejumlah warga Kampung Gampingan, pegiat seni, dan mahasiswa. Semuanya duduk lesehan di atas tikar, sambil menyimak Rain Rosidi yang membuka acara dengan tenang.
“Fenomena atau gejala dalam berkreativitas, mewarisi dan merawat nyala seni itu dilakukan dengan contoh dua kasus ini. Ibu Yani Saptohoedojo dengan membuat makam seniman. Kemudian Mas Syahrizal Pahlevi dengan Gampingan Open Studio, menciptakan praktek-praktek baru untuk mewarisi semangat yang ada di masa lalu. Kemudian Mas Kuss Indarto itu akan menanggapi secara kritis maupun reflektif hubungannya gejala-gejala itu dengan apa yang kita hadapi hari ini,” jelas Rain Rosidi.
Saptohoedojo dan Makam Seniman Giri Sapto Imogiri
Yani Saptohoedojo tampil anggun dengan bunga merah hiasan sanggul, riasan, dan selendang batik berwarna senada. Istri dari seniman Saptohoedojo ini, mengungkapkan bahwa sosok Saptohoedojo (1935 – 2003) telah menginisiasi seni kriya tanah liat di Kasongan, Bantul. Kemudian seni kriya tembaga di Boyolali, Jawa Tengah, serta seni kriya keramik di Temanggung, Jawa Tengah. Sentuhan seni dari Saptohoedojo telah meningkatkan nilai estetika dan nilai jual seni kriya dari daerah-daerah tersebut.
“Hidup kita sangat pendek, kalau pergi ke mana-mana jangan tidur. Kita bisa melihat kiri kanan, betapa indahnya Indonesia itu. Dengan segala macam budayanya, aneka ragam keseniannya, kerajinannya, dan makan-makanannya,” tutur Yani Saptohoedojo yang telah turut serta dalam pergerakan seni Saptohoedojo ke seluruh penjuru Indonesia sejak tahun 1970-an.
Saptohoedojo pernah berujar pada Yani Saptohoedojo, bahwa seniman sama berjasanya seperti pahlawan kemerdekaan. Seniman berkarya lewat musik, lukisan, yang bisa membangkitkan semangat perjuangan Indonesia. Untuk itulah, Saptohoedojo ingin mengharumkan nama para seniman dengan membangun makam seniman. Makam ini belum pernah ada di Indonesia.
Sebelum membangun makam seniman, Saptohoedojo dan Yani Saptohoedojo meminta izin secara langsung kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI ke-2 (23 Maret 1973 – 23 Maret 1978).
“Seniman itu juga sejajar dengan raja. Karena tanpa seniman, kerajaan dan kota itu tidak ada indahnya,” ungkap Yani Saptohoedojo saat menuturkan kembali tanggapan dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX terhadap wacana pembangunan makam khusus seniman.
Setelah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, wilayah tersebut dibeli dengan harga 2x – 3x lipat dari luas tanah, dengan biaya pribadi Saptohoedojo dan Yani Saptohoedojo. Cikal bakal Makam Seniman Giri Sapto Imogiri tersebut kemudian dibangun tak hanya sebagai makam seniman, juga lahan produktif yang bisa digunakan untuk bercocok tanam palawija sesuai aspirasi warga setempat. Selain itu, dibangun pula Museum Seniman Giri Sapto Imogiri oleh Dinas Kebudayaan DIY.
Sejumlah nama besar seniman yang bersedia untuk dikebumikan di Makam Seniman Giri Sapto Imogiri antara lain Kusbini, Liberty Manik, Edhi Sunarso, Saptoto, Hasmi (Harya Suryaminata), Romo Sas (Sasminta Mardawa), dan Djoko Pekik yang baru saja berpulang pada 15 Agustus 2023. Djoko Pekik dimakamkan di Makam Seniman Giri Sapto Imogiri dengan ilustrasi dinding berupa celeng, khas karya seninya.
Sebenarnya, makan ini dinamakan Makam Budayawan dan Seniman Pengharum Bangsa. Namun, agar mudah diingat, nama makam tersebut diganti menjadi Makam Seniman Giri Sapto Imogiri. Makam ini dibangun hingga tujuh tingkat, sesuai dengan filosofi tujuh tingkatan surga, tujuh warna pelangi, dan angka tujuh dalam bahasa Jawa “Sapto”.
Pra GOS (Gampingan Open Studio)
Syahrizal Pahlevi mengambil alih ruang diskusi. Raut wajahnya yang menunjukkan jejak keturunan Timur Tengah, tampak tegas dan serius. Ia memaparkan bahwa Gampingan Open Studio adalah respon para alumni kampus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) terhadap fenomena sosial masyarakat Kampung Gampingan. Para alumni kampus ASRI tersebut mencoba menghidupkan kembali semangat berkesenian di Kampung Gampingan dalam bentuk desain grafis dan seni lukis.
Sebelum ada Pra GOS (Gampingan Open Studio), para seniman alumni ASRI ini berkarya di pinggir jalan, di trotoar, dan di tepi sungai, dengan karya seni lukis dan sketsa. Kini, setelah warga menyetujui adanya Pra GOS, kolektif seni ini bisa berkegiatan di Balai RK Kampung Gampingan.
Untuk meneruskan geliat berkesenian dan berkarya, Syahrizal Pahlevi selaku penggagas Gampingan Open Studio, sekaligus alumni ASRI jurusan seni lukis, menggelar Pra GOS sepanjang bulan Juli – September 2023. Acara ini adalah misi untuk mewujudkan Gampingan Open Studio.
Pra GOS berlangsung setiap hari Sabtu dan Minggu. Acara ini bersifat kolektif, dan terbuka untuk berbagai kategori seni.
Selain itu, Pra GOS juga berkolaborasi dengan SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) untuk mengadakan kelas lukis di JNM (Jogja National Museum). Agar semakin semarak, Pra GOS pun berkolaborasi dengan Jogja Art Week untuk menyosialisasikan acara tersebut. Pra GOS merupakan wujud interaksi dua arah antara seniman dan warga dalam berkesenian di sosial masyarakat.
Seni Mewarisi dan Merawat Nyala Seni

Kuss Indarto mulai merangkum pemaparan para pembicara sebelumnya.
Sambil membuka catatannya, Ia mencoba menggaungkan semangat mewarisi dan merawat nyala seni. Caranya dengan cara mengingat kerja keras seni apa yang sudah dibangun dan ditinggalkan, sehingga bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. Salah satu contohnya adalah desain gerabah Kasongan khas Saptohoedojo yang masih bertahan hingga hari ini.
Menanggapi eksistensi Makam Seniman Giri Sapto Imogiri, Kuss Indarto mengungkapkan bahwa dulunya, wacana tersebut bisa dibilang liar, gila, dan kurang kerjaan. Namun kini, para seniman mewawas diri, seberapa pantas dirinya, dan merasa bangga jika bisa dikebumikan bersama puluhan maestro seni di Makam Seniman Giri Sapto Imogiri.
“Untuk bisa dimakamkan di Makam Seniman Giri Sapto Imogiri, syaratnya adalah mati syahid seni,” canda Kuss Indarto yang disambut gelak tawa dari para peserta.
Menurut Kuss Indarto, ada banyak seni dan seniman di Yogyakarta yang bisa diwarisi semangat berkeseniannya. Harapannya, agar warisan seni tersebut dapat dikembangkan lagi dan diteruskan oleh generasi selanjutnya.