Tipe-tipe wanita berdasarkan teks Jawa Wanita Utama

Tipe-tipe wanita berdasarkan teks Jawa Wanita Utama
Pembicara, Nur Eka, ketika di atas panggung

infoseni.id – Kesusastraan Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang tidak ternilai. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang berguna dalam kehidupan. Selain itu, terdapat beberapa hal menarik yang dapat dilihat dalam naskah-naskah sastra Jawa.

Pembicara, Nur Eka, ketika di atas panggung.


Terdapat beberapa paparan menarik berkaitan dengan kesusastraan Jawa pada International Symposium and Exhibition on Javanese Culture 2023 hari kedua (10/03) yang dilaksanakan di The Kasultanan Ballroom Hotel Royal Ambarukmo. Salah satunya adalah yang dipresentasikan oleh Nur Eka Ratna Dewi, guru bahasa Jawa SMK 1 Sayegan.

Nur Eka menjabarkan bahwa dalam teks Wanita Utama dalam Kandha Gedhog Saha Kempalan Warni-Warni menjelaskan tipe-tipe wanita dengan perumpamaan tumbuhan. Ia menjelaskan bahwa naskah-naskah Jawa banyak memuat simbol, begitu juga teks ini.

“Saya percaya bahwa kehidupan manusia Jawa itu penuh dengan simbol” ujar Nur Eka.

Membaca Naskah Kandha Gedhog Saha Kempalan Warni-Warni

Naskah Kandha Gedhog Saha Kempalan Warni-Warni adalah koleksi perpustakaan Pura Pakualaman. Dalam naskah tersebut, teks Wanita Utama berada di urutan ke-8. Setidaknya terdapat 7 tipe wanita yang disimbolkan sebagai tumbuhan.

Tipe pertama adalah kembang anggrek wulan (Phalaenopsis amabilis). Wanita tipe ini adalah wanita yang memiliki tubuh indah, wajah dan sorot matanya tajam, dan membuat jatuh hati siapa pun yang melihatnya. Selain itu, tipe ini istimewa karena dijaga ketat oleh para pengawal.

“Anggrek wulan yang dimaksud berbeda dengan anggrek bulan yang banyak di pasaran. Jenis ini sudah langka dan belum disilangkan dengan jenis anggrek lain. Berbeda dengan anggrek bulan di pasaran yang sudah banyak disilangkan dengan jenis lain” terang Nur Eka.

Tipe kedua adalah Kembang Nagasari. Wanita tipe ini memiliki perangai yang misterius. Parasnya cantik bagai langit di malam hari. Wanita tipe ini memiliki tubuh harum lantas membuat para lelaki berebut menginginkannya. Tipe wanita ini istimewa karena berada di tempat yang indah dan mewah serta dijaga dengan pengawalan ketat.

Selanjutnya adalah tipe Kembang Sulastri. Wanita tipe ini merupakan wanita yang tampak biasa saja, dan kurang menarik. Ia lebih suka menyendiri sehingga tidak membuat lelaki tertarik. Jika tidak ada lelaki yang menginginkannya, tipe wanita ini akan menjadi perawan tua.

“Bagi yang bernama Sulastri mohon jangan mengganti namanya setelah pulang” canda Nur Eka.

Terdapat juga wanita tipe murtiningkang sari yang berarti wanitanya dunia, wanita paling utama, atau yang paling unggul. Wanita ini memiliki paras yang bersinar seperti bulan, cahayanya bagai air yang berkilau.

Selain berdasarkan nama-nama bunga, ada juga yang berdasarkan tempat, yaitu Si Kebon. Menurut Bausastra Jawa, wanita tipe ini adalah wanita yang dikebonke atau disingkirkan namun tidak dicerai oleh pasangannya. Meskipun Ia disingkirkan papan yang ditempatinya adalah tempat yang layak.

Dewadaru, tumbuhan dengan kelopak putih dan benangsari kuning, juga menjadi salah satu tipe lainnya. Wanita dengan tipe Dewadaru merupakan sosok wanita perkotaan yang tinggal di jalan-jalan besar. Ia adalah keturunan orang berada, memiliki paras yang menarik, namun masih memiliki hubungan kekerabatan.

Bentuk Bunga Dewadaru, lambang wanita perkotaan


Tipe terakhir adalah wanita bertipe tembakau. Wanita tipe ini adalah sosok wanita yang kurang baik. Ia memiliki perangai buruk dikarenakan kegiatannya menggoda suami orang lain. Selain itu, wanita tepi tembakau dianggap sebagai wanita simpanan.

Selain tipe-tipe wanita berdasarkan bunga, wanita dalam naskah-naskah Jawa sering disebut sebagai bunga. Kata puspita maupun kusuma sering dijadikan kata untuk melambangkan wanita dalam naskah-naskah Jawa.

Sebelum adanya ucapan kesayangan untuk pasangan seperti “sayang” dan “beb” di masa sekarang, orang-orang Jawa dulu menyebut pasangannya sebagai puspita atau kusuma.

Hal ini adalah bukti bahwa manusia Jawa mengamati dengan serius lingkungannya, baik alam maupun sosialnya.

Faiz_M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *