Tuhan, Agama, dan Praktik Keagamaan dalam Film PK
infoseni.id – Kau bisa melindungi Tuhan? Dunia ini sangat kecil dibandingkan alam semesta, sedangkan kau, dengan duduk di dunia kecil ini, tempat ini, jalanan ini, mengatakan kalau kau ingin melindungi Tuhan yang menciptakan alam semesta? Dia tak butuh perlindunganmu, Dia bisa melindungi diri-Nya sendiri (PK).
PK adalah sebuah drama komedi satire yang menceritakan perjalanan tokoh utama mencari keberadaan Tuhan. Dikisahkan, satu alien dari planet lain untuk turun ke Bumi. Layaknya manusia yang dilahirkan telanjang, si alien menapakkan kaki untuk pertama kalinya di Bumi dalam keadaan tidak tertutup sehelai kain. Hanya berkalung remote control untuk kembali ke planet asal, dan tidak bisa berkata sepatah pun.
Nahas, dia langsung bertemu dengan manusia yang buruk hatinya: remote control si alien dirampas. Dari konflik inilah, film PK dimulai.
Alien cepat belajar perilaku manusia bumi. Dia mendapatkan uang dan pakaian dari “mobil bergoyang”. Saat sedang merasakan kenikmatan, orang cenderung lalai dengan segala hal yang ada di sekitarnya. Mungkin begitulah pesan yang tersirat dalam adegan tersebut.
Selanjutnya, dalam hal berkomunikasi, alien cukup kesulitan karena di planetnya, cara komunikasinya cukup dengan membaca pikiran lawan bicara, sedangkan di Bumi, dia harus menggunakan bahasa.
Alien mencoba untuk belajar bahasa dengan meraih tangan penduduk dan menyerap segala hal yang pernah dipelajari oleh orang tersebut, tetapi mereka menganggap hal yang dilakukan alien itu adalah cabul. Perilakunya yang seperti itu membuat alien mendapatkan julukan ‘Peekay (PK)’ yang berarti ‘mabuk’.
Hingga bertemulah PK dengan Bhairon Singh yang tidak sengaja menabraknya saat dikejar penduduk. Melihatnya yang tidak bisa diajak komunikasi, Bhairon mengira dia amnesia, “dipungutlah” PK menjadi teman.
Seiring dengan waktu, melihat perilaku PK yang terus-menerus meraih tangan perempuan, Bhairon menafsirkan hal tersebut adalah keinginan seksualnya. Lalu, Bhairon membawanya ke rumah bordil. Di sana, PK memegang tangan seorang pelacur selama enam jam sehingga ia bisa belajar bahasa Bhojpuri.
PK menceritakan segala kisahnya kepada Bhairon. Lalu, dia mengusulkan kepada PK untuk pergi ke Delhi agar bisa menemukan remote control yang telah dirampas. Berpisahlah keduanya. Saat adegan inilah, emosi penonton mulai diaduk. Meskipun bergenre komedi, rasanya tidak ada film India yang tidak membuat penontonnya menangis.
Nihil, sesampainya di Delhi, PK belum juga menemukan remote control-nya. Bertanya kepada orang pun, jawaban yang didapat hanyalah: “Bertanyalah kepada Tuhan!” atau “Hanya Tuhan yang bisa membantu.”
PK bingung. Mengapa semua orang berkata seperti itu? Siapakah Tuhan? Di manakah bisa kutemui Tuhan? Perjalanan selanjutnya, PK merasa harus mencari Tuhan untuk membantunya menemukan remote control-nya.
Dalam usahanya mencari Tuhan, PK semakin dibuat bingung karena banyaknya agama dan praktik keagamaannya. “Pemuka agama-Mu yang beragama mengatakan hal berbeda satu sama lain. Ada yang mengatakan beribadah di hari Minggu, ada yang hari Selasa. Ada yang mengatakan sebelum matahari terbit, ada yang bilang setelahnya. Ada yang memuja sapi, ada yang mengurbankannya. Ada yang ke kuil tanpa sepatu, ada yang ke gereja pakai sepatu. Manakah yang salah dan yang benar?”
Saking bingungnya, PK menganut semua agama dan menjalankan segala apa yang diajarkan oleh pemuka agama.
Terus mencari Tuhan dan remote control, takdir mempertemukan PK dengan Tapasvi Maharaj, seorang pemuka agama Hindu serta orang yang membawa remote control milik PK, dan Jaggu, seorang reporter televisi yang tertarik dengan pikiran-pikiran PK. Merekalah aktor utama dari setengah durasi film ini hingga akhir.
Istilah wrong number pun muncul saat Tapasvi mengatakan kepada PK bahwa remote control milik PK adalah benda yang diturunkan Tuhan kepada Tapasvi di Gunung Himalaya. Melalui dialog-dialog merekalah pesan dalam film ini tersirat.
Beragamnya agama dan praktik keagamaannya adalah sarana untuk mencapai yang dituju, yaitu Tuhan. Namun, bukan berarti melupakan hubungan seorang penganut agama dengan lingkungan sosialnya.
Pesan ini terekam dalam adegan orang menuangkan susu untuk-Nya yang disimbolkan dengan batu. Padahal, seharusnya bisa diberikan kepada anak-anak di India yang lebih membutuhkan. Selain itu, tergambar pula dalam adegan para pengemis yang tidak dipedulikan oleh para jemaah saat datang ke kuil.
Berangkat dari pesan di atas, lebih lanjut, film PK juga menyuratkan pesan bahwa “Tuhan tidak perlu dibela karena Dia bisa membela dirinya sendiri.” Seakan-akan ingin membela Tuhan, secara tidak sadar, perilaku “pembelanya” malah menyakiti manusia lain. Dalam film ini, digambarkan pada adegan dibomnya kereta yang ditumpangi Bhairon saat akan menemui PK oleh kaum radikal.
Selanjutnya, melalui karakter Tapasvi, film PK ini menampilkan sosok pemuka agama yang menggunakan agama sebagai ladang mencari keuntungan. Tapasvi seolah-olah adalah tangan kanan Tuhan sehingga banyak orang yang datang meminta pertolongan padanya bukan meminta langsung kepada Tuhannya.
Kata PK kepada Tapasvi: “Tuhan mana yang harus ku percayai? Kau selalu bilang bahwa hanya ada satu Tuhan. Menurutku tidak, ada dua Tuhan. Pertama, Tuhan yang menciptakan kita semua. Kedua, Tuhan yang diciptakan oleh orang sepertimu. Kita tak pernah tahu soal Tuhan yang menciptakan kita. Namun, Tuhan yang kau ciptakan itu sama sepertimu: pembohong, suka berpura-pura, memberi harapan palsu, menghormati orang kaya, mengabaikan rakyat miskin, bahagia saat dipuji, orang-orang takut bersuara.”